[FF Freelance] Dernière Place

Title                 :  Dernière Place
Author             :  ekha_azula
Cast                :  Bae Suzy, Kim Myungsoo
Other Cast      :  Park Jiyeon, Kim Heechul
Genre              :  Horror, Fantasy, Romance
Length             :  One Shoot
Rating             : G (General)

Please Don’t Be Silent Readers, Jangan lupa Commentnya, ff ini juga pernah aku post di                                             storyfanfiction.worpress.com

Happy Reading ^^

Langit mendung. Sekeliling kota pun dirayap sepi, meninggalkan sunyi di tiap jengkal jalan lagi sudut. Tak lama, hujan turut mengiringi, seolah sang cakrawala mengguyur bumi dengan sejuta kesedihan yang ditampung bentangan langit berlapis awan hitam.

Kau berdiri di sana, menerawang dari balik jendela. Jerit tangis langit yang bertubi-tubi menyerang bumi tak lagi kau hiraukan. Jemarimu yang kurus pucat menyentuh kaca jendela yang tertutup uap dingin ulah sang hujan, mengaburkan pandanganmu ke dunia di balik kaca. Sekalipun tak kau kerjapkan matamu, dan masih bertahan dengan tatapan kosong dari matamu  itu.

Tak ada satupun pertanda yang memberitahu kalau kau akan segera beranjak. Tidak ada meski hati kecilmu berkata kalau yang kau lakukan adalah tidak berguna. Suara-suara dalam dirimu selalu berkata sama, namun kau tak pernah mempedulikannya, menutup telingamu dan lebih memilih untuk diam tanpa kata. Karena, tak ada lagi yang bisa kau percayai. Bahkan dirimu sendiri…..

Bunyi deritan pintu yang seringkali kau anggap ancaman juga tak mampu lagi mengusik sepimu, apalagi menarikmu dari dunia kosong ciptaanmu sendiri. Langkah kaki yang memijak lantai kayu memenuhi seisi ruangan, kemudian terhenti tanpa kau tahu, bahwa sosok yang menyebabkan dentuman langkah itu tengah memandangmu pilu.

“Suzy, kau sedang apa?”

Seakan tak tahu kalau nama yang disebut itu sebenarnya adalah namamu, kau tetap tak bergeming, belum jemu dengan posisi yang tak pernah kau tinggalkan selama beberapa menit terakhir.

“Suzy,” Bisa kau rasakan tangan yang basah oleh hujan tersebut menyentuh bahumu, lalu memutar tubuhmu hingga sekarang kau berhadapan dengan sosok namja yang telah merawatmu sedari kau masihlah yeoja yang periang hingga berubah menjadi seorang yeoja yang selalu terkurung dalam dunia dan perasaannya sendiri, “Jangan melamun. Kau tidak boleh melakukannya sesering ini!”

Entah sudah berapa kali kau mendengar perintah itu terlontar dari namja ini, dan entah sudah berapa kali pula kau selalu mengabaikannya. Kau kosongkan pikiranmu seolah itu adalah ritual yang harus selalu kau penuhi setiap saat, setiap waktu. Hanya karena namja ini memiliki kesabaran tinggilah, ia masih tahan memperingatkanmu tanpa harus berkata kasar padamu.

Meskipun dia tahu, kalau kau takkan bergeming pada cemoohan, hinaan, cacian dan apapun di dunia ini yang mencoba menyakitimu. Ia tahu, ia tahu itu.

“Ayo, kuantar ke kamarmu.”  Sambil mengeratkan pegangannya pada tanganmu, kau berjalan mengikutinya dalam diam.

*****

Hari mulai gelap ketika kau melangkahkan kakimu melewati jalanan yang becek akibat hujan kemarin. Masih bisa kau lihat semburat awan hitam di langit, mengingatkanmu pada kenyataan bahwa kota ini tak pernah letih dicengkram oleh cuaca mendung.

Dulu, kau sangat membenci cuaca seperti ini, dan kebencianmu tak ada beda dengan rasa benci pada hujan yang selalu membisikkan larangan bagimu untuk bermain. Walau kau tahu kini, semua itu tak perlu lagi kau benci, tak perlu lagi kau kutuki. Karena tanpa hujan yang selalu kau umpat itupun, kau tak pernah lagi menampakkan diri bersama anak-anak sebayamu. Dan kau takkan pernah mau kecuali terdesak keadaan.

“Suzy !”

Kau berbalik, melihat seorang yeoja yang barusan memanggil namamu. Ah, dia … pikirmu. Bagaimana bisa kau tidak tahu yeoja itu? Dia begitu menawan, banyak teman dan disukai oleh siapa saja. Di lubuk hatimu yang paling dalam, kau sangat iri padanya, meskipun berkali-kali kau yakinkan diri untuk tak menjadi manusia dengki.

“Jiyeon,” kau menggumam ketika yeoja itu berhenti satu setengah meter di depanmu. Matamu yang redup memandangi wajahnya, seolah menganalisa ekspresi untuk mengetahui apa yang ada dalam hatinya saat berhadapan denganmu.

“Kau meninggalkan buku catatanmu di kelas.”

Kasihan dan… takut. Itu yang kau tangkap dari hasil penglihatanmu akan air mukanya. Dan kau tak pernah lagi merasa heran.

“Terimakasih,” Kau tersenyum, mencoba memasang topeng seramah mungkin di wajah pucatmu. Meski sulit, selalu kau coba untuk bersikap ramah pada orang yang baik padamu di saat tak ada orang yang mempedulikan dirimu.

“Baiklah… sudah, ya. Sampai ketemu besok…”

Dan ia pun berlalu, membuatmu kembali dipeluk sepi.

“Dia baik…” Kau berujar sendiri, seulas senyum tipis hampir tak kasat mata menghiasi bibirmu yang mungil. Tidak pernah kau berpikir hal seperti itu saja mampu membuatmu menyunggingkan secercah senyum.

Suara guntur yang tiba-tiba membuatmu tercekat, lalu dengan langkah tergesa kau berlari pulang begitu mendengar seruan peringatan penuh gelegar itu. Sesegera mungkin, kau harus menghindar dari air mata langit yang menangisi hari tanpa alasan pasti.

*****

“Ada berita duka.”

Saat ketiga kalimat itu membelai telingamu, kau hanya mampu untuk mengerjap beberapa kali. Rok kelabu pendek yang kau kenakan telah kusut akibat kedua tanganmu yang tak mau berhenti meremasnya. Dengan hati-hati kau menyimak perkataan namja paruh baya di depan sana, Seonsaengnim. Lalu, kau mengedarkan pandangan ke sekeliling yang mulai dipenuhi kasak-kusuk. Hatimu mencelos saat melihat satu bangku yang tak terisi.

“Kali ini dari keluarga Park Jiyeon.”

Tidak, tidak!

Kau tulikan telingamu, memaksakan diri untuk mencoba mengkhianati apa yang akan kau ketahui. Harapan kalau semua ini takkan pernah terjadi terus kau ucapkan bagai mantra dalam hati. Semoga hal itu tak lagi terjadi, dan takkan lagi menyeretmu dalam tatapan semua orang yang mengintimidasi. Karena kau tak ingin semua ini semakin memburuk, semakin menenggelamkanmu pada gelapnya keputusasaan. Bisa bertahan sampai di sini saja sudah suatu keajaiban yang kau yakini.

“Teman kita…Jiyeon, dikabarkan meninggal kemarin malam.”

Sepi sesaat sebelum ruangan mulai riuh,

“Jiyeon meninggal?”

“Kenapa bisa? Kemarin dia baik-baik saja!”

“Jiyeon…aku belum sempat meminta maaf padanya…”

Kelopak matamu terkatup rapat saat penuturan namja itu mendesak masuk ke pendengaranmu, juga keributan yang kedengaran seperti lengkingan serigala lapar. Kau tutup wajahmu yang mulai menunjukkan ekspresi tak menentu, dan tak bisa menahan bahumu untuk tidak terguncang.

Terjadi lagi. Lagi-lagi, kejadian ini terulang kembali.

“Andwae…” kau menggumam pilu, “ANDWAE!”

Puluhan pasang mata melempar pandangan dingin padamu saat kau menjerit tanpa kesadaran utuh. Walau air mata menggenang di kedua zamrudmu yang bergelimang, tak satupun dari mereka tampak mempedulikan bulir-bulir bening sarat kesedihan itu membasahi pipimu yang pucat.

“Seonsaengnim, bukankah kemarin sore Jiyeon menghampiri anak itu?”

Anak itu. Siapa lagi kalau bukan kau?

“Ya, aku juga melihatnya.”

“Jangan-jangan ada sesuatu.”

“Mungkin dialah penyebabnya!”

Sama sekali tak bisa kau balas tudingan mereka padamu. Kau hanya dapat mematung tanpa bisa mengucapkan sepatah dua patah kata pembelaan diri, masih dengan air mata menjejaki pipi. Hingga semua tudingan itu bungkam oleh peringatan Seonsaengnim, “DIAM SEMUA!”

Sunyi.

“Biar saya luruskan persoalan ini,” dia berkata dengan nada melunak, “Jiyeon meninggal karena ditemukan bunuh diri. Jadi tak ada alasan bagi kalian untuk menuduh Suzy!”

“Tapi Seonsaengnim ! Bukankah kejadian enam bulan lalu juga sama? Krystal meninggal bunuh diri setelah mendekati anak itu, lalu tiga bulan sebelumnya, Taemin tanpa alasan yang jelas terjun dari atap sekolah, dan bagaimana dengan Dongho yang menabrakkan diri setelah belajar bersama anak itu di tahun pertama? Apa Seonsaengnim tidak merasa aneh? Pasti ada yang tak beres dengannya!”

Semua siswa mulai membicarakan hal-hal misterius tentangmu, membuatmu semakin terpojok. Kau tahu tak ada satupun siswa di kelas ini yang tak menyetujui perkataan anak tadi tentang serentetan kejadian aneh yang selalu terjadi pada setiap orang yang mencoba mendekatimu.

Jauh di dasar hatimu, kau ikut percaya dengan apa yang dikatakan anak itu, walau kau tak pernah ingin menerima realita yang ada.

“Bahkan bukan cuma itu, kudengar di Sekolah Menengah Pertama juga ada beberapa anak yang mengalami kejadian sama setelah dekat-dekat dengannya!”

“Sudah kubilang, dia itu pembawa sial, pembawa kutukan. Siapapun yang mendekat padanya akan mati tidak peduli orang itu baik atau jahat!”

Dan kalimat-kalimat gunjingan itu mulai memenuhi isi kepalamu, menambah tekanan batin yang selama ini kau tanggung. Meski selama ini, kau tak pernah peduli apa kata mereka, namun jauh di dalam dirimu kau begitu terluka.

“Sudah semua, hentikan!” lagi kau dengar pembelaan itu. Lega merayapi dirimu, namun kau juga takut sosok namja paruh baya yang menjadi panutanmu tersebut malah ikut menjadi korban akan kesialan yang kau bawa, “Hari ini, saya akan mengirim dua orang perwakilan kelas kita untuk mengunjungi rumah Jiyeon. Saya harap kalian tahu bagaimana cara bersikap yang baik dan benar di rumah duka. Sekarang, siapa yang mau jadi perwakilan?”

Detik itu, hanya kaulah satu-satunya yang tak punya keberanian untuk mengangkat tangan. Bicara saja kau tak bisa, apalagi meminta diri untuk mewakili kelasmu. Semua orang pasti akan berkata betapa lancangnya dirimu yang sudah membawa kesialan pada teman mereka.

Padahal, bukan kau yang melakukannya.

‘Jiyeon… semoga kau mendapat tempat terbaik di sisi-Nya.’

*****

PLAK!

Tangan ramping nan panjang berkuku merah itu berhasil melayangkan satu tamparan di wajahmu yang kuyu, lengkap dengan goresan berdarah menghiasinya. Respon tubuhmu hanyalah kedua mata yang membulat lebar saat merasakan perih di bagian yang baru saja tersakiti.

Tak ada secercah nyali di hati hanya untuk sekedar menatap wajah yeoja berambut hitam di hadapanmu yang memerah marah.

“Sekarang apa lagi yang kau lakukan, hah? Semua orang membicarakan kematian anak itu dan dirimu!”

Kau lagi-lagi diam. Kau lagi-lagi tak mampu melawan. Kau lagi-lagi tak memiliki daya. Kini, hal yang mampu kau lakukan hanya menerima semua hujatan itu, menusuk-nusuk relung hatimu hingga menghasilkan luka yang tak kunjung kering. Membusuk. Terlalu parah hingga tak bisa disembuhkan lagi, bahkan membuatmu tak bisa bangkit lagi.

“Aku menyesal memungut anak pembawa sial seperti dirimu! Seharusnya kuminta Heechul untuk segera membuangmu!”

Dengan kata-kata kasar kau terhujani. Dengan penginjakan harga diri kau dilempari. Namun, kau tak bergeming… diam menerima semua begitu saja. Tak juga kau meminta tolong, karena sejak awal kau sadar takkan ada yang sudi berbelas kasih padamu.

Kecuali dia…

Dia yang tak pernah kau inginkan untuk mengulurkan tangannya sekedar untuk membantumu berdiri. Dia yang selalu kau tolak kedatangannya meski sekedar ingin menyembuhkan luka fisik hasil karya orang-orang di sekelilingmu. Dia yang selalu kau coba hindari sentuhannya ketika ingin menghentikan tangismu.

Dia… dia yang kau harapkan takkan pernah hadir dalam hidupmu.

Padahal, dia bisa membantumu melakukan apa saja. Apa saja!

Namun, kau merasa takkan pernah bisa mengatakan satupun permohonan kecil kepadanya. Atau lebih tepatnya, kau takkan pernah mau.

“Hah… bisa gila aku kalau terus-terusan menghadapimu anak sepertimu. Kuharap Heechul segera pulang dari tempat kerjanya yang jauh itu.”

Dan yeoja itu meninggalkanmu sambil lalu, pergi tanpa berminat untuk melihat keadaanmu. Kau masih tetap di posisi seperti itu ketika pintu depan tertutup rapat, membuatmu ditemani oleh sunyi yang mengisi setiap sudut rumah kecil ini.

Kakimu beranjak, menuruti kata hatimu untuk meniti tangga kayu di pojok ruangan minim cahaya. Pintu kamar tempatmu menuju berderit aneh ketika kau membukanya, menimbulkan kesan mengerikan. Coklat tuamu kini teronggok tak berarti di depan lemari. Benda tua itu seakan memperhatikanmu yang mulai mengabaikannya. Kau hentikan langkahmu, saat kau rasa bulu tengkuk mulai berdiri. Hawa dingin mulai menjadi atmosfer satu-satunya yang memenuhi ruangan pribadimu itu.

Dan seseorang—sesuatu… tiba-tiba memeluk pinggangmu yang ramping tanpa sedikitpun tanda-tanda kehadiran dari belakang.

*****

Ada sebuah legenda di kota ini. Bukan legenda yang tercipta dari mitos masyarakat setempat, bukan pula sebuah legenda buatan untuk menakuti anak-anak mereka sebelum tidur. Sebuah legenda misterius yang takkan pernah bisa terpecahkan oleh siapapun.

Legenda yang telah ratusan tahun menyelimuti kota ini adalah sebuah legenda nyata. Sebuah realita hidup yang harus diterima oleh siapapun yang menanggungnya. Sebuah keyakinan.

Keyakinan itulah yang membuat persepsi setiap insan akan berubah pada siapapun yang terlibat dengan legenda itu. Terlibat dalam artian sudah terikat dengan takdir sang legenda. Bersyukurlah semua orang yang hidup sebelum masa takdir itu kembali terulang. Takdir di mana belum ada seorang kaum Hawa terlahir dengan tanda tertentu di bagian tubuhnya. Karena mereka takkan mengalami apa yang banyak dialami orang lain ketika takdir tersebut datang kembali. Tidak akan karena yang terpilih tak ada di sekitar mereka.

Takdir itu datang membawa kelahiran seorang yeoja terpilih. Yeoja berparas cantik, berperawakan sempurna dan memiliki kemampuan otak di atas rata-rata. Yeoja yang akan menjadi pengantin Pangeran Iblis.

Dan sayangnya, yeoja itu adalah kau, …

Kau, Bae Suzy, yang saat ini sedang berada dalam genggaman Pangeran itu sendiri.

“Kenapa?” suaramu tercekat di ujung pita suara, masih berusaha mengendalikan debaran jantung saat leher jenjangmu dijelajahi olehnya, “Kenapa kau membunuh Jiyeon?”

Pertanyaanmu belum direspon. Seolah kau menerima perlakuannya yang masih termasuk ringan itu, dia malah semakin menguasaimu. Kakimu gemetar saat tangannya yang dingin menelusup ke balik seragammu yang kelabu, mengusik bagian sensitif tubuh dan tanpa rasa bersalah, membuatmu tak mampu bernapas. Pekikan kecil yang tak kau inginkan terlepas dari bibirmu saat ia menyerang daun telinga sebelah kiri.

Segenap iman dan ketahanan diri kau kerahkan untuk mengalahkan nafsu, menolak godaan dan sentuhan memabukkan yang selalu kau terima darinya. Kau tarik tubuhmu yang nyaris menyerahkan diri dalam dekapannya, lalu berbalik untuk menatapnya kecewa sekaligus marah.

“Jawab pertanyaanku!” kau menjerit, peduli setan dengan orang yang dapat mendengar lengkinganmu. Sosok di hadapanmu hanya menatap dengan ekspresi yang selalu sama. Dingin dan angkuh.

Takut mulai kau rasa saat ia diam seribu bahasa. Kau memang membencinya, mengutuknya, menolak takdir yang disebabkan olehnya, namun tak dapat kau pungkiri bahwa kau takut padanya. Kau mulai terisak. Lututmu lemas tak berdaya, hingga kau pun berlutut di hadapannya. Serpihan-serpihan keberanian kau kumpulkan dalam hati, hanya untuk menatap sosok di hadapanmu.

“Sudah cukup kutukan yang kudapatkan…” Perih menusuk permukaan kulitmu saat air mata itu mengaliri luka di pipi,”… juga kehidupan yang kujalani… kau mengerti, kan, Kim Myungsoo ?”

“Jangan pernah salahkan dirimu untuk orang-orang tak berarti seperti mereka.”

Selalu begitu. Benar-benar seorang Pangeran yang apatis. Kau juga sangat membenci sifatnya yang seakan berkata bahwa kau hanyalah yeoja lugu yang tak tahu apa-apa.

“Kau anggap berarti orang-orang yang menatapmu penuh belas kasih itu? Kau bodoh, Bae Suzy…” tudingnya dingin,”Dan jangan pernah merasa iri pada yeoja macam dia, kau jauh lebih baik darinya. Aku akan menghabisi siapapun yang membuatmu merasa tersaingi.”

Bohong. Dia selalu bilang kau jauh lebih baik dari yeoja manapun, karena itulah sejak lahir kau sudah memiliki tanda kalajengking di tengkukmu, sebagai segel kalau kau adalah miliknya. Tapi, kalau memang kau lebih baik dari siapapun juga, kenapa kau tidak bisa merasakan bahagia?

Entah sejak kapan Pangeran sudah terduduk sejajar denganmu. Wajahnya begitu dekat hingga kau tak berani membuka mata. Tangannya yang dingin mengelus lembut pipimu, hal yang seringkali dilakukannya setiap malam apabila menemukan luka di tubuh yang selalu dilindungi olehnya itu. Dan kau selalu merasa risih karena Pangeran tak pernah peduli bagian tubuh mana yang disentuhnya.

Menghindar adalah hal yang selalu ingin kau lakukan, namun percuma karena Pangeran tak jarang membuatmu terikat setiap dia berada di sampingmu. Benang-benang tak kasat mata itu merantai seluruh sistem pergerakan tubuh, membuatmu diam tanpa bisa melawan. Bahkan seringkali Pangeran membuatmu melakukan apa yang tidak ingin kau lakukan. Hanya dengan kendali pikirannya, kau akan bergerak sebagaimana dia mau. Atau yang lebih parah, Pangeran bisa membuatmu kehilangan kesadaran dan melakukan sesuatu sesuai perintahnya.

Seakan-akan kau sudah menjadi bonekanya, bukan calon pengantinnya.

Dan cara inilah yang Pangeran gunakan untuk membunuh orang-orang yang ia rasa mengganggu…

Ketika ia melepaskan telapak tangannya yang sebeku bongkahan es dari pipimu, kau tak lagi merasakan perih di sana. Lukamu sembuh, dan jika seandainya makhluk arogan di hadapanmu ini adalah seseorang yang menjadi protagonis dalam kisah hidupmu, kau pasti akan mengucapkan beribu terimakasih. Namun, pada kenyataannya dialah sumber dari penderitaan yang selama ini kau terima. Kau tidak bisa berterimakasih hanya karena ia menyembuhkan luka fisikmu, karena itu tak sebanding dengan luka batin yang selama ini harus kau telan mentah-mentah walau sakitnya melebihi ribuan jarum.

Mendadak tanganmu bergerak tanpa kau pinta, melingkar erat di leher Pangeran. Sadar sekali kalau kini kau sedang berada dalam kendalinya. Seluruh tubuhmu menggigil saat jarak antara dirimu dengan tubuh Pangeran yang beraura dingin semakin sempit.

Dengan perasaan terpaksa kau melumat bibir Pangeran. Belum terlepas tubuhmu dari belenggu kendali sosok lelaki itu, sampai ciuman di antara kau dan dia mulai berubah menjadi lebih ganas. Lidahmu yang bermain-main dengan miliknya pun tak luput dari salah satu permainan Pangeran. Semua yang kau lakukan di malam sunyi-senyap itu adalah keinginan Pangeran seutuhnya. Takkan pernah bisa kau tolak selama Pangeran menginginkannya darimu.

*****

Kau mengira dirimu akan terbangun sendirian di ranjang dengan tubuh polos yang hanya dilapisi selimut. Selalu terbayang rasa sakit di bagian bawah tubuhmu akibat dipaksa terlalu lama bercinta dengan makhluk yang tak kau cintai. Dan setiap kau terbangun dalam keadaan seperti itu, kau pasti langsung berlari ke kamar mandi untuk membasuh tubuhmu dan berharap bercak-bercak merah yang menyebar hampir di semua bagian itu bisa hilang hanya dengan guyuran air yang mengalir bersamaan dengan butir bening matamu.

Namun, pagi ini kelihatan berbeda…

Dinginnya lantai kayu terasa menusuk tulang. Tidak kausangka Pangeran meninggalkanmu begitu saja di atas lantai beku. Walau kau lebih tidak menyangka lagi ketika menemukan dirimu masih berpakaian lengkap dan bercak merah yang ada hanyalah di sekitar leher.

Sebenarnya apa yang terjadi?

Berkali-kali kau kerjapkan matamu, memperjelas pandanganmu di ruangan bernuansa suram ini. Keningmu berkerut saat menyadari bahwa ruangan ini bukanlah ruangan di mana seharusnya kau terbangun. Ketika kau melihat foto tua nan usang di dinding ruangan itu, barulah kau temukan memori tentang ruangan yang entah sudah berapa lama tidak pernah kau masuki lagi. Ini kamar Appa dan Eomma angkatmu.

Dulu, kau sering masuk ke mari hanya untuk tidur bersama mereka. Dipeluk oleh Appa dan Eomma dengan hangatnya. Masih kau ingat masa-masa kecil yang indah itu. Sayang, semuanya telah berlalu. Kau tak tahu kenapa, tapi kau merasa begitu lelah hanya untuk sekedar bangun. Juga terlalu bingung mengapa kau bisa berada di sini.

Masih kau pertahankan posisi berbaring itu. Hingga kau mulai menyadari sesuatu yang ganjil…

Cahaya redup akibat langit mendung bisa kau lihat di balik jendela, pertanda bahwa hari tak lagi dijajah kelam langit malam. Hal yang pertama kali terlintas di otakmu adalah; mengapa Eomma tidak membuka tirainya? Lalu, kau bangkit. Sedikit demi sedikit menjaga keseimbangan dan mulai menganalisa keadaan kamar yang kosong itu. Seluruh inderamu mulai bekerja lebih baik, membuatmu bisa mendengar tetesan air dari kamar mandi, dan… mencium sesuatu.

Baunya tajam. Seperti… bau karat.

“Eomma?” suaramu terdengar parau,”… Eomma?”

Tak ada jawaban.

Keputusanmu untuk berlari ke luar sepertinya adalah sebuah kesalahan. Bau tajam yang menyerang penciumanmu semakin samar. Ingin kau berbalik, namun sesuatu membisikkimu untuk tak kembali. Tenggorokanmu kering lagi lidahmu kelu. Bisikan halus itu kau tepis, dan mulai menyulut nyalimu yang sempat padam. Sepertinya, ada hal yang harus kau ketahui dan kau saksikan dengan mata kepala sendiri.

Kau memutar balik menuju kamar tadi, berjalan was-was menuju pintu kamar mandi. Langkah kakimu terdengar tiap sekian detik, hanya saja kau merasa degup jantungmu serasa lebih kencang ketimbang derit pilu lantai kayu yang kau pijak. Matamu hanya terfokus pada pintu kamar mandi dari kaca yang menampakkan cahaya putih lampu di dalamnya. Deru napasmu mulai tak menentu saat tangan kananmu meraih kenop pintu dengan gemetar. Kau memutarnya, pintu itu ternyata tidak terkunci.

“Eomma…?” lagi kau ucapkan panggilan itu, namun sama seperti sebelumnya, tak ada jawaban.

Tiap langkah yang kau ambil selalu diiringi senandung rasa ragu. Yakin sekali dirimu bahwa bau aneh yang kau cium berasal dari ruangan berkeramik ini. Tirai bath tub bergoyang perlahan meski tak ada angin yang masuk ke tempat itu, pikiranmu mulai melayang jauh, merasa seolah-olah kau dapat melihat sesuatu yang menembus tirai bath tub kemudian menerobos langit-langit.

Jiwa-jiwa yang siap dikirim ke neraka.

Sekarang, ujung tirai bath tub sudah ada dalam genggaman tanganmu yang ringkih.

Sreeeet…

Tirai itu kau seret buka, namun matamu masih terpejam dengan napas tertahan. Bertanya-tanya kenyataan macam apa yang akan kau terima kali ini. Dan saat kau membuka mata, seluruh tubuhmu serasa kehilangan seluruh tulang penyangga otot yang kau punya.

*****

Menemukan mayat Eomma dalam keadaan terpotong-potong dan bersimbah darah bukanlah hal yang mudah. Dan kau, yang menjadi tertuduh dalam tragedi di rumah ini belum juga berubah. Masih diam tak mampu membela diri saat satu-satunya orang yang paling kau sayangi menatapmu dengan tatapan yang tak bisa kau bayangkan.

Masih kau ingat betapa dinginnya Appa angkatmu itu saat kau memeluknya dan menangis tersedu-sedu dengan mengatakan kalau bukan kau pelakunya. Namun, Appa angkatmu sama sekali tak merespon. Hal itu tidak mengurangi kegelisahanmu. Sungguh, kau tidak takut akan dimasukkan ke penjara setelah kejadian ini, namun kau lebih takut apabila perlakuan Appa akan berubah setelah apa yang kau lakukan di mata banyak orang.

“Istirahatlah, Suzy.”

Hanya itu yang dikatakannya sambil beranjak pergi. Teh hangat yang kau buatkan untuknya sama sekali tak dilirik apalagi diminum. Mungkinkah Appamu itu takut kau menaruh sesuatu di dalamnya?

Mungkinkah ia tak lagi mempercayaimu?

Kau menunduk dalam beberapa saat, lalu berlari menyusuri tangga menuju kamar. Sengaja kau kunci pintu, lalu memandang tiap sudut kamarmu yang remang cahaya. Tanganmu mengepal kuat hingga memutih, kemudian berseru,

” MYUNGSOO !” kau menjerit, “KIM MYUNGSOO !”

Namun, dia tak muncul. Kau tertawa sarkastik. Saat ini dia pasti sedang mempermainkanmu dan menyeringai puas.

“Aku tahu kau di sini! Sekarang tampakkan dirimu!”

Hanya gemeresak batang pohon yang menjawab seruanmu. Angin berhembus melewati jendela, mengayun anak rambutmu yang ringan. Kau melangkahkan kaki ke arah lemari, membuka-paksa laci dan mengambil sesuatu di dalamnya.

Sebilah pisau.

“Kau ingin melihatku melakukannya lagi?” kau terguncang, “Kau senang melihatku memotong-motong tubuh manusia? Sekarang akan kuperlihatkan padamu! Akan kuperlihatkan bagaimana aku memotong-motong tubuhku sendiri tanpa berada dalam kendalimu!”

Pisau dalam genggamanmu berkilat-kilat. Dan dengan amarah yang membakar habis seluruh akal sehat yang kau punya, kau mulai mencoba. Mencoba menyakiti lengan kirimu. Pisau itu harus menerima hujatan darimu saat ia tak mampu menghasilkan luka yang lebih parah pada lengan kirimu yang pucat nyaris transparan.

“Lihatlah! Lihatlah ini, Myungsoo !”

Tes…

Tes…

Darah mulai menggenangi kakimu. Terus kau goreskan luka-luka yang mengiris daging di lenganmu itu. Hingga tak ada lagi warna pucat di sana, yang ada hanyalah cairan pekat menggerogotinya.

Jleb.

Satu tusukan sengaja kau arahkan ke perutmu. Kemudian tanpa ragu kau tarik kembali pisau itu, yang anehnya tak bisa membuat pita suaramu melengkingkan jeritan nyeri. Kau malah tersenyum senang, seakan-akan sudah mendapatkan apa yang kau inginkan.

“Beginikah caramu mencintaiku? Dengan membuatku menderita? Senangkah kau melihatku kesakitan seperti ini? Tertawalah!”

Dan kembali kau tancapkan pisau itu. Lagi, lagi, dan lagi. Warna merah menghiasimu, dan cairan itu bermuncratan lebih banyak lagi ketika kau menyayat ke arah vertikal pisau tersebut ke lapisan ototmu sendiri. Terus kau lakukan kegilaan tersebut tanpa peduli rasa sakit yang menderamu. Bisa kau rasakan organ-organ dalam perutmu yang seakan ingin mencuat, berhamburan di lantai, menyatu bersama darah yang tumpah ruah.

Hingga pada akhirnya kau terjatuh. Berkubang di darahmu sendiri. Napasmu memburu, matamu terpejam sembilu. Kau lelah, kau kesakitan dan kau kesal… kesal karena tak bisa merasakan seperti apa rasanya nyawa tercabut dari ubun-ubun.

Percuma… percuma, sayang… karena aku selalu melindungimu.

“Jangan melakukan hal bodoh…” kau melihatnya memijak lantai yang digenangi lautan darah, “Kau takkan bisa mati. Jadi berhenti menyakiti dirimu sendiri.”

“AAAAKH!”

Kau bangkit sembari membelalak lebar, dengan sekujur tubuh yang terbasahi cairan berbau karat. Hidupmu, keluargamu, depresimu… semua itu telah membuat jiwamu kehilangan kontrol. Sampai-sampai kau tak lagi takut untuk menubruk Pangeran, dan melayangkan pisaumu ke tubuhnya hingga puluhan kali.

Jleb.

Jleb.

“Kau harus tahu—”

Jleb.

Jleb.

Jleb.

“—betapa aku ingin membunuhmu! Ingin kulihat—”

Jleb.

Jleb.

“—kau mati ribuan kali lebih buruk ketimbang caramu membunuh orang-orang di sekitarku!”

Jleb.

Satu tusukan terakhir yang kau tancapkan tepat di dadanya. Darah dari tubuhmu kini menyatu dengan darahnya. Terengah-engah napasmu, tangan masih mencengkram pisaumu yang menancap begitu dalam menembus dadanya.

Diam. Kau membatu di atas tubuhnya, lalu kembali terguncang. Air matamu ikut menganak sungai bersama ceceran darah yang membanjir.

Tiada guna perlawanan ini. Jangankan Pangeran, Suzy… kau saja sudah ditetapkan untuk tak bisa mati, apalagi dirinya?

“Kumohon…” kau tergugu, meminta belas kasih dalam tangismu untuk pertama kali padanya, “Bunuhlah aku…Myungsoo…”

Karena hanya dia yang bisa mentakdirkan maut sang pendamping.

“Suzy…”

Namun, kau melakukannya lagi, … sebuah kesalahan yang tak sepenuhnya kau lakukan. Sebuah tragedi akibat ulahnya, yang berimbas padamu dengan menghasilkan tatapan jijik semua orang untukmu. Sayang sekali kau baru menyadarinya ketika mendengar suara letih dari tubuh di bawahmu ini.

Rambut yang sudah ternodai warna merah, matanya yang berbeda warna semakin meredup lelah, namun bibirnya yang dipenuhi cat merah pekat masih mampu melukiskan senyuman. Kau cengkram dada sosok itu. Sosok yang selama ini tak pernah mengutukmu, merendahkanmu, menatap jijik padamu. Satu-satunya orang yang sudi kau peluk. Satu-satunya orang yang layak kau percayai. Satu-satunya orang yang paling kau sayangi.

“M-maafkan… Appa… t-tak bisa… m-melindungi… mu…”

Dia… Appa-mu.

“AaaaaaPppaaaa !!!!!!”

*****

Kau berdiri dengan sorot mata menantang desauan angin, guyuran hujan. Darah yang membasahi tubuhmu ikut terbawa genangan air mata langit, sedikit demi sedikit memupusnya dari kulit pucatmu, namun tak mampu menghapusnya dari sandang yang kau kenakan.

Entah apa yang akan kau lakukan, ke mana pula kau mesti berjalan, kau tidak pernah tahu. Kini, kau hanya bisa mempercayai hatimu. Kau tak mau lagi menuruti logikamu, kau relakan hatimu yang penuh luka itu mengambil kendali tubuhmu sepenuhnya, membuatmu berjalan tanpa arah pasti. Menyusuri hujan di tengah kota kelam ini.

Dan kau pun berlari, diiringi melodi percikan air hujan akibat langkahmu yang tak benar-benar kau sadari. Jalanan begitu hening, hanya tetesan dinginnya air hujan yang menemanimu sekaligus menusuk-nusuk permukaan kulitmu.Tak kau hiraukan sekujur tubuhmu yang menggigil, kau terus berlari seolah ingin menjauhi hidupmu, takdirmu, penderitaanmu. Meskipun kau sadar, ke manapun kau melarikan diri, takdirmu akan senantiasa mendekap sedemikian erat hingga kau tak bisa lepas lagi.

Bruk!

Langkahmu yang tak terkontrol itu adalah penyebab tersungkurnya dirimu ke permukaan tanah basah. Kau jatuh, sama seperti jiwamu saat ini. Kembali kau tergugu, ucapkanlah terimakasih pada sang hujan yang menutupi air mata pilu. Takkan ada yang tahu, Yeoja lemah… dan kini takkan ada yang peduli.

Kecuali dia.

Yang saat ini mengulurkan tangannya padamu.

“Kau tahu hanya aku tempat terakhir yang kau miliki…”

Ya. Dialah tempat terakhirmu, Bae Suzy… kau menyadari itu, tapi selama ini kau tak pernah mau menerimanya. Tak pernah kau merelakan takdir yang kau terima.

“Sekarang, apa kau rela ikut denganku?”

Kau menengadah, menatap sosoknya yang tampak kabur oleh kelamnya langit dan derasnya hujan. Masih bisa kau lihat tangannya yang terjulur padamu, tanda pinta kesediaanmu untuk menjadi miliknya. Kerelaanmu untuk menjadi Tuan Putri-nya.

Relakah kau, Yeoja lugu? Maukah kau bersikukuh untuk tinggal di dunia yang selalu menatapmu jijik ini? Atau… kau akan memilih untuk menerima takdirmu dan pergi bersamanya?

Masih kau terdiam, memperlihatkan matamu yang sebening kristal terlihat rapuh di depan sosoknya yang arogan. Bukannya kau ragu, bukan pula kau merasa tak sudi, hanya saja… kau tak mengerti, dan kau takkan pernah bisa mengerti…

Kau takkan pernah bisa mengerti cara Pangeran mencintaimu. Dengan menyiksa batinmu, melukaimu, memisahkanmu dengan orang yang kau cintai. Walaupun begitu, kini kau mau menyadari… kalau memang dialah… tempat terakhirmu untuk melangkahkan kaki.

– The End –

 

64 pemikiran pada “[FF Freelance] Dernière Place

  1. Wah bikin kelanjutan nya dong , myungsoo kan ngajak ke kerajaan ..
    gmana tuh ceritanya suzy nantik bisa suka sama myungsoo . Seru tuh klau d lanjutin

  2. kata2nya memang sumpah keren banget,,

    tp ini terlalu tragis chingu,, 😥

    agak gak rela aja Myungsoo bersikap sekejam itu wlo di FF,,, 😥

    Suzy jg kasian sekali,,,

    di tunggu FF yg lain ya chingu,, tp jgn tragis n menyakitkan seperti ini,,

    hrus mengorbankan org yg tidak bersalah seperti itu benar2 kejam,, 😥

  3. Keadaan Suzy ini namanya… Maju salah, mundur nggak bisa, jadi…. nyamping aja (lol) mengikuti kemauan Pangeran Myungsoo dengan kepasrahan. Aku berharap ini bukan kisah nyata dari siapapun dari kita… mengerikannya nggak ada jalan keluarnya (mati aja nggak bisa)
    Tapi author kreatif banget sampai ada ide kayak gini, abis nonton film apaan thor ?

  4. astaga ini keren bgt…horror bgt mana aku baca tengah malem bnr2 merinding bacanya</3 kasian suzy dia ngalamin tekanan batin gitu.. bagus thor keep writing yaa(:

  5. sumpah,, ini ceritanya keren bgt…
    Tpi kasian suzy-nya,
    tpi ceritanya te2p keren kok…
    Klo blh saran nih, lanjutin aja ceritanya biar makin seru 😀

  6. “Beginikah caramu mencintaiku? Dengan membuatku menderita? Senangkah kau melihatku kesakitan seperti ini? Tertawalah!”

    keren banget kata-katanya,

Tinggalkan Balasan ke ayuni Batalkan balasan